BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam mempelajari Ekonomi Makro terutama ialah untuk memperoleh pengetahuan mengenai hukum - hukum ekonomi, yang disebut juga dengan sebutan kesimpulan - kesimpulan umum teoritik, yang diperlukan bila kita ingin memecahkan masalah - masalah ekonomi makro. Tindakan – tindakan pemerintah yang berupa usaha untuk mempengaruhi beasaran – besaran / variabel – variabel ekonomi agregatif atau dengan kata lain, untuk mempengaruhi jalannya perekonomian dengan maksud untuk mencapai tujuan – tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, kita sebut kebijakan ekonomi makro atau macroeconomic policy, terutama kebijakan fiskal.
Kenyataan menunjukkan bahwa kebanyakan hubungan kausal antara besaran – besaran ekonomi mempunyai sifat reversible dalam arti bahwa kalu meningkatnya nilai variabel A bertendensi mengakibatkan meningkatnya nilai variabel B, maka menurunnya nilai A akan mengakibatkan menurunnya nilai variabel B. Dalam contoh telah disajikan, kalau meningkatnya pengeluaran konsumsi pemerintah bertendensi mengakibatkan naiknya tingkat pendapatan nasional, maka dengan kesimpulan umum teoritik yang sama kita dapat meramalkan bahwa menurunnya jumlah pengeluaran konsumsi pemerintah akan mengakibatkan menurunnya tingkat pendapatan nasional. Mengingat akan sifat reversible daripada kesimpulan umum teoritik tersebut, kita dapat meramalkan juga bahwa menurunnya hasil pungutan pajak oleh pemerintah akan bertendensi mengakibatkan meningkatnya tingkat pendapatan nasional.
Mengingat akan kenyataan – kenyataan di atas, maka dengan terlebih dahulu memaparkan gambaran umum mengenai tujuan – tujuan yang ingin dicapai oleh kebanyakan kebijakan – kebijakan ekonomi makro, kiranya akan memudahkan kita dalam mengikuti uraian serta contoh – contoh penerapan daripada kesimpulan – kesimpulan umum teoritik yang disajikan.
1.2 Tujuan
Kebanyakan pemerintah dan masyarakat Negara – neagara di permukaan bumi ini menganggap keadaan – keadaan seperti di bawah ini sebagai keadaan – keadaan perekonomian yang mereka idam – idamkan.
1. Tingkat kesempatan kerja/tingkat employment yang tinggi. Idealnya memang perekonomian harus dijaga jangan sampai timbul pengangguran. Pengangguran merupakan gejala ekonomi yang tidak diinginkan oleh masyarakat manapun juga. Oleh karena rupa – rupanya dalam praktek tidak mungkin pengangguran dapat kita hilangkan sama sekali, maka kita harus cukup puas kalau kita dapat berhasil mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi.
2. Peningkatan kapasitas produksi nasional yang tinggi. Khususnya untuk Negara – Negara yang terhitung masih terbelakang perekonomiannya, usaha peningkatan kapasitas produksi nasional, yang pada galibnya merupakan usaha dalam bidang pembangunan ekonomi boleh dikatakan merupakan suatu keharusan. Tujuan seperti inilah yang dalam kebanyakan literatur diungkapkan sebagai tujuan meningkatkan atau mempertahankan tingkat pertumbuhan atau growth rate daripada kapasitas produksi nasional.
3. Tingkat pendapatan nasional yang tinggi. Tingkat pendapatan yang tinggi mencerminkan jumlah barang – barang dan jasa – jasa yang dihasilkan oleh perekonomian tersebut berjumlah banyak. Dengan banyaknya alat pemuas kebutuhan tersebut, kalau lain – lain hal sama, akan berarti tingkat kemakmuran yang dicapai oleh masyarakat Negara yang bersangkutan adalah tinggi. Tingkat pendapatan nasional yang tinggi akan sekaligus dapat dicapai apabila tujuan nomor 1 dan nomor 2 tersebut di atas terwujud.
4. Keadaan perekonomian yang stabil. Kestabilan di sini meliputi disamping kestabilan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja, juga kestabilan tingkat harga.
5. Neraca pembayaran luar negeri yang seimbang. Dari segi tinjauan ekonomi murni baik neraca pembayaran luar negeri yang deficit maupun yang surplus bertendensi menimbulkan keadaan yang tidak diinginkan. Akan tetapi dari segi politik neraca pembayaran yang surplus rupa – rupanya lebih diinginkan daripada neraca pembayaran yang seimbang. Oleh karena itu kiranya lebih tepat kalau dikatakan bahwa dalam praktek yang pada umumnya ingin dicapai oleh pemerintah ialah neraca pembayaran luar negeri yang tidak deficit.
6. Distribusi pendapatan yang lebih merata. Distribusi pendapatan nasional yang merata pada umumnya dianggap sebagai distribusi pendapatan yang adil. Dengan tingkat kesempatan kerja dan tingkat pendapatan nasionals erta tingkat kestabilan harga yang sama yang disertai dengan distribusi pendapatan yang lebih merata pada umumnya lebih dsukai daripada yang disertai dengan distribusi pendapatan nasional yang kurang merata, antara lain dengan alasan bahwa distribusi yangs angat tidak merata mempunyai tendensi untuk menimbulkan ketegangan – ketegangan sosial selanjutnya bertendensi mengurangi ketentraman hidup, yang di samping bertendensi mengurangi tingkat kebahagiaan yang dicapai oleh masyarakat, juga bertendensi menimbulkan pemborosan – pemborosan.
Akhirnya sangatlah penting untuk diketengahkan bahwa dari tujuan – tujuan kebijakan ekonomi makro seperti yang disebutkan di atas ada yang usaha pencapaiannya mempunyai arah yang sejalan ada pula yang mempunyai arah yang berlawanan satu dengan lainnya. Yang mempunyai arah yang sejalan misalnya saja, tujuan untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi dengan tujuan untuk mempertahankan tingkat pendapatan nasional yang tinggi. Dengan tercapainya tingkat kesempatan kerja yang tinggi berarti kapasitas produksi nasional berada dalam pemanfaatan yang penuh. Pemanfaatan penuh atas kapasitas produksi nasional mempunyai makna bahwa tingkat pendapatan tertinggi yang bisa dihasilkan oleh perekonomian sudah tercapai.
Tujuan – tujuan yang usaha pencapaiannya sering menjumpai konflik antara yang satu dengan yang lain, dapat kita tunjukkan misalnya tujuan untuk mempertahankan neraca pembayaran luar negeri yang tidak defisit dengan tujuan untuk mempertahankan tingkata kesempatan kerja yang tinggi.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Peranan Kebijakan Fiskal dalam Perekonomian
Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengarahkan perekonomian makro kearah yang lebuh baik dengan jalan mengubah-ubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
Penerimaan Pemerintah diasumsikan dari pajak.
a. Anggaran Defisit
Yaitu : anggaran yang memang direncakan untuk deficit (pengeluaran > penerimaan) contohnya:subsidi BBM. Kebijakan anggaran deficit disebut juga kebijakan fiskal ekspansif.
b. Anggaran Surplus
Anggaran yang direncakan untuk surplus (penerimaan > pengeluaran) ,dilakukan dalam kondisi perekonomian sedang ekspansi dan terus memanas (overheating) , pemerintah mengerem pengeluarannya untuk menurunkan tekanan permintaaan atau mengurangi daya beli dengan menaikkan pajak.
Kebijakan anggaran surplus disebut juga kebijakan fiskal kontraktif.
Kebijakan fiskal dikatakan efektif jika pemerintah mampu mengubah tingkat bunga (r) dan atau output sesuai dengan yang diinginkan oleh pemerintah.
Belanja pemerintah
Salah satu masalah yang amat mengganggu perekonomian kita dalam beberapa tahun terakhir ini adalah rendah dan lambatnya penyerapan APBN. Dengan kata lain, banyak program pembangunan yang sudah direncanakan tidak dapat direalisasikan, dan yang direalisasikan pun sering terlambat pelaksanaannya dan cenderung menumpuk menjelang akhir tahun.
Jadi, tidak mengherankan bila kita melihat pembangunan infrastruktur (listrik, jalan, pelabuhan, dan saluran irigasi) seolah-olah tidak bergerak dalam beberapa tahun ini. Keadaan ini tentu membuat daya dorong dari kebijakan fiskal pemerintah terhadap perekonomian menjadi tidak sekuat yang seharusnya.
Agak terganggunya implementasi anggaran terlihat, antara lain, dari jumlah uang di rekening pemerintah di BI yang terkadang naik terlalu tinggi. Biasanya jumlah uang di rekening pemerintah di BI (di mana sebagian besar uang pemerintah disimpan) mengalami kenaikan dari Januari sampai Maret dan bertahan pada level yang relatif tinggi pada bulan berikutnya. Baru kemudian pada tiga bulan terakhir setiap tahun (terutama bulan Desember) jumlah uang itu menurun secara signifikan.
Pola seperti ini terjadi karena pada awal tahun program pemerintah belum banyak dijalankan. Baru pada bulan April, biasanya program pembangunan mulai lebih banyak diimplementasikan (uang dibelanjakan), yang membuat jumlah uang pemerintah di BI tidak bertambah terlalu signifikan lagi. Dan menjelang akhir tahun biasanya realisasi program yang ada dikebut sehingga uang pemerintah pun menurun signifikan pada akhir tahun.
Namun, dalam dua tahun terakhir ini keadaannya lebih memburuk. Hal ini terlihat dari terlalu banyaknya uang yang ada di rekening pemerintah di BI. Tahun 2008, misalnya, sampai bulan November uang pemerintah masih bertahan di atas Rp 150 triliun.
Pada tahun 2009 keadaan sedikit membaik. Namun, tetap saja jumlah uang pemerintah di BI sampai dengan November 2009 masih relatif terlalu tinggi, di atas Rp 100 triliun. Angka ini diperkirakan akan turun secara signifikan pada bulan Desember. Namun, tetap saja, menumpuknya uang pemerintah di BI hingga akhir tahun memberikan indikasi bahwa masih ada masalah dalam merealisasikan program-program pembangunan yang sudah direncanakan.
Bila keadaan ini tidak diperbaiki, sebaik apa pun program yang pembangunan yang dirancang tidak akan memberikan dampak yang optimal terhadap perekonomian. Akibatnya, akan sulit bagi kita untuk tumbuh dengan laju pertumbuhan yang lebih cepat pada tahun-tahun mendatang.
Harapan perbaikan
Pemerintah tampaknya sudah menyadari akan pentingnya memperbaiki daya serap anggaran ini. Hal ini terlihat dari dimasukkannya perubahan terhadap Perpres Nomor 67 Tahun 2005 (tentang kerja sama pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur) dalam program seratus harinya.
Ada banyak hal yang diperbaiki dan diperjelas dalam revisi yang dilakukan guna mempercepat proses pembangunan infrastruktur. Salah satu di antaranya adalah mengenai proses pengadaan badan usaha. Dalam perpres yang lama, ketentuan mengenai hal ini sering menyebabkan proses pelelangan harus diulang lagi hingga berkali-kali. Keadaan ini sering memperlambat implementasi suatu proyek infrastruktur.
Semula bila penawaran masuk yang sah kurang dari tiga pihak, proses lelang diulang. Pada versi revisinya, bila penawar yang sah kurang dari tiga pihak, masih mungkin melanjutkan proses pengadaan badan usaha: bila penawaran sah hanya ada dua, maka satu sebagai calon pemenang dan satu cadangan; bila penawar sah hanya ada satu, diadakan lelang ulang atau negosiasi dengan persetujuan menteri.
Alternatif negosiasi ini mungkin rawan untuk disalahgunakan. Akan tetapi, pada era ketika pengawasan terhadap tindak pidana korupsi yang kian ketat ini, rasanya orang akan berpikir puluhan kali untuk menyalahgunakan alternatif negosiasi ini. Dengan perubahan peraturan ini, tampaknya terbuka peluang untuk terjadinya percepatan realisasi penyediaan infrastruktur.
Program lain yang tampaknya dapat memberikan dampak yang signifikan adalah perubahan terhadap Keppres No 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Keppres ini juga sering disalahkan (oleh pelaku usaha dan kalangan pemerintahan) sebagai salah satu penyebab terhambatnya realisasi anggaran pemerintah.
Ada beberapa penyederhanaan yang dilakukan, antara lain dalam hal pemilihan penyedia jasa disediakan alternatif prosedur pemilihan yang lebih mudah seperti Lelang Sederhana (untuk pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya) dan Seleksi Sederhana (untuk pemilihan penyedia jasa konsultasi) bagi proyek dengan nilai sampai dengan Rp 200 juta. Pilihan Lelang Sederhana dan Seleksi Sederhana ditujukan untuk mempercepat pelaksanaan pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa dan jasa konsultasi.
Selain itu, ada beberapa hal menarik dari perubahan Keppres No 80/2003. Rancangan terakhir dari revisi keppres ini memberi indikasi adanya kecenderungan keberpihakan kepada UKM, industri, dan penyedia jasa dalam negeri
Keikutsertaan perusahaan asing hanya diperbolehkan untuk proyek di atas Rp 100 miliar untuk konstruksi, Rp 20 miliar untuk barang/jasa, dan di atas Rp 10 miliar untuk jasa konsultasi. Perubahan ini diperkirakan akan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi pemain dalam negeri yang bergerak dalam bisnis tersebut.
Pencadangan proyek bagi UKM juga mengalami perbaikan. Batas maksimal nilai penyediaan barang/jasa untuk UKM dinaikkan dari Rp 1 miliar ke Rp 2,5 miliar. Hanya proyek di atas Rp 2,5 miliar yang dapat ditangani oleh perusahaan besar.
Selain itu, pemakaian produk dalam negeri tampak lebih ditekankan. Dalam revisi Keppres No 80 disebutkan bahwa produk dalam negeri wajib digunakan jika terdapat penyedia barang/jasa yang menawarkan barang/jasa dengan nilai tingkat komponen dalam negeri minimal 40 persen. Mengingat besarnya belanja pemerintah, revisi keppres ini akan memberikan manfaat lumayan bagi sektor industri dalam negeri.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari judul di atas menunjukkan bahwa salah satu masalah terbesar yang masih dihadapi oleh pemerintah saat ini adalah relatif belum maksimalnya daya serap anggaran, yang membuat dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian menjadi kurang optimal. Namun, dalam program seratus harinya, kabinet yang baru sudah menyadari hal ini dan sudah membuat penyesuaian agar masalah ini tidak menjadi penghalang lagi.
3.2 Saran
Kita harus ingat bahwa problem Indonesia selama ini bukanlah terletak pada pembuatan peraturan saja. Problem kita yang utama adalah sulitnya mengimplementasikan peraturan dan program-program yang ada. Kabinet baru harus benar-benar memerhatikan masalah ini dan memonitor terus-menerus implementasi program-program pembangunan yang dirancangnya untuk lima tahun ke depan agar ekonomi kita dapat tumbuh dengan laju yang lebih cepat lagi.